A. PENGERTIAN
HUKUM ADAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT DI INDONESIA
a.
Pengertian Hukum
Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama
kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De
Acheers” ( orang – orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van
Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”.
Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun
1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang – undangan
Belanda.Istilah
hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya
mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi
Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui
istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan
hukum adata dengan alasan :“ Tidaklah tepat
menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat,
karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum
yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa
bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan
kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila
orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir
senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam
lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya
merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep
yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan
antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit
sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.
Untuk mendapatkan gambaran apa yang
dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai
berikut :1.
Prof.
Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum
adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala
adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori
“Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah
sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari
sikap penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila
penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat
itu sudah merupakan hukum adat.
2.
Prof.
Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan
tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum
dikodifikasikan.3.
Dr.
Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang
pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,
mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.4.
Mr.
J.H.P. Bellefroit
Hukum
adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut
berlaku sebagai hukum.5.
Prof.
M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan.6.
Prof.
Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam
masyarakat yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu.7.
Soeroyo
Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah suatu kompleks
norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
serta meliputi peraturan – peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa
ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).8.
Prof.
Dr. Soepomo, S.H.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis
didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang
meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh
rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum. Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka
terlihat unsur – unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :·
Adanya
tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat
·
Tingkah
laku tersebut teratur dan sistematis
·
Tingkah
laku tersebut mempunyai nilai sacral
·
Adanya
keputusan kepala adat
·
Adanya
sanksi/ akibat hukum
·
Tidak tertulis
·
Ditaati dalam masyarakat
Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum AdatPerbedaan antara adat dengan hukum adat yaitu :1.
Dari Terhaar
Suatu adat akan menjadi hukum adat,
apabila ada keputusan dari kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu
tetap merupakan tingkah laku/ adat.2.
Van
Vollen Hoven
Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum
adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi.3.
Van
Dijk :
Perbedaan antara hukum adat dengan adat
terletak pada sumber dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan
masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat
bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.4.
Pendapat
L. Pospisil :
Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat
dari atribut-atribut hukumnya yaitu :·
Atribut
authority,
Yaitu adanya keputusan dari penguasa
masyarakat dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
·
Intention
of Universal Application
Bahwa putusan-putusan kepala adat
mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga dikemudian hari
terhadap suatu peristiwa yang sama. Obligation (rumusan hak dan kewajiban) Yaitu
dan rumusan hak-hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan
apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia missal nenek moyangnya, maka
hanyalah putusan yang merumuskan mengeani kewajiban saja yang bersifat
keagamaan.·
Adanya
sanksi/ imbalan
Putusan
dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi / imbalan yang berupa
sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dn
sebagainya. Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum
adat hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat. Hukum
adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan adat tidak
mempunyai nilai/ biasa.b.
Dasar Berlakunya
Hukum adat di Indonesia
Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun
pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk
berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang
berbunyi:“Segala
badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Aturan Peralihan Pasal II
ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104
disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan – alasannya
dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang – Undang dan aturan adat
yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum
ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUD 1945. Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b.
I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing
berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :1. Hukum
Eropa
2. Hukum
Eropa yang telah diubah
3. Hukum
bagi beberapa golongan bersama dan
4.
Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.Pasal
131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan
sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila
terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum
adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku
adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan
bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan
alasan-alasan putusan itu juga aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan
Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan
presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan
Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang
tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1)
ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :1. Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2. Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945
3. Pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
5. Pasal
7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hukum Eropa
6. Hukum
Eropa yang telah diubah
7. Hukum
bagi beberapa golongan bersama dan
8.
Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.Pasal
131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan
sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila
terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum
adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku
adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan
bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan
alasan-alasan putusan itu juga aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan
Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan
presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan
Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang
tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1)
ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :4. Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
5. Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945
6. Pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
7.
Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sifat-sifat Umum Hukum Adat
Dr. Holleman, dalam
pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische rechtsieven,
menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya
dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komun,
sifat contant dan sifat konkret. "Religio-magis" itu sebenarnya
adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau
cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-lain.
Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a.Kepercayaan terhadap
makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam
semesta dan khusus.b.Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh
manusia dan benda- benda;c.Kepercayaan terhadap
kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat
dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa,
tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda
yang luar biasa dan suara yang luar biasa; d.Anggapan bahwa kekuatan sakti
yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai
perbuatan••perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk
menolak bahaya gaib;e.Anggapan bahwa kelebihan
kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya
berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam
pantangan. F. D. Hollemen
juga memberikan uraian yang menjelaskan tentang sifat-sifat Hukum Adat yaitu
:
a.Sifat Commune,
kepentingan indibvidu dalam hukum selalu diimbangi dengan kepentingan umum.b.Sifat Concreet, yang
menjadi objek dalam hukum adat itu harus konkret atau harus jelasc.Sifat Constant, penyerahan masalah
transaksi harus dilakukan dengan konstand.Sifat Magisch, hukum adat
mengandung hal-hal yang gaib yang apabila dilanggar akan menimbulkan bencana
terhadap masyarakat. Proses Terbentuknya Hukum Hukum Adat adalah Hukum Non StatuirHukum adat pada
umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang
ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan
perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan
peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah
yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan
kemudian dihukum. Hukum Adat Tidak Statis
Hukum adat adalah
suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat
sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh
dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Van Vollen Hoven juga
mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai berikut :“Hukum adat pada
waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan”
selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat berkembang dan maju terus,
keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat” B. PERANAN
HUKUM ADAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Hukum
adat telah terlebih dahulu eksis mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat
Indonesia dan tentudalam batas yuridiksi masyarakat hukum adat tempat dimana
hukum adat itu tumbuh dan berkembang. Hukumadat berkembang sebagai dualisme
hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengaruh hukum sipil kolonial Belanda
merasuk jauh kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kondisi itulah yang
kemudian dipulihkan kembali setelah Indonesia merdeka yang ditandai dengan
diakuinya keberadaan hukum adat dalam tatanan hukum Nasional. Dengan adanya
berbagai hukum yang mengatur kehidupan dalam masyarakat negara, maka skenario pembangunan
hukum dan bagaimana membentuk keharmonisasi hukum jelas merupakan suatu masalah
yang kompleks dan sangat berpengaruh pada efektifitas hukum. Hukum adat sebagai
salah satu wujud pluralisme hukum dalam memberikan sejumlah catatan penting
dalam kehidupan hukum di Indonesia, permasalahan lebih kompleks dibanding
negara-negara lain. Ini terutama karena banyak ragamnya komunitas masyarakat
adat dengan hukum adatnya masing – masing. Kalau pun hukum-hukum adat itu akan
diakamodir dalam hukum nasional. Selain keberlakuannya sangat terbatas pada
teritorial masyarakat adat itu sendiri. Dalam hubungan itu tidaklah menjadikan
hukum adat sebagai hukum tidak memiliki nilai. Eksistensi hukum adat disamping
hukum-hukum lainnya akan tampak sangat penting apabila hukum dipahami dalam pengertian
yang lebih luas, yaitu sebagai proses pengendalian sosial yang didasarkan pada
prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan
masyarakat, maka semua bentuk masyarakat
betapapun sederhananya memiliki
hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga
keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (Nader, 1965:4;
Radfield, 1967:3; Pospil, 1967:26; Bohannan, 1967:48). Sistem hukum yang
mewarnai hukum nasional Indonesia selamai ini pada dasarnya terbentuk atau
dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum
adat dan sistem hukum islam, yang masing-masing menjadi subsistem hukum dalam
sistem hukum Indonesia. Apabila sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah
kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia dan sangat
berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara Sistem Hukum Adat
bersendikan atas dasar – dasar alam
pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat menyadari akan sistem hukum adat
orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa hukum adat sangat
penting dalam suatu masyarakat pluralistik dan dengan memberikan pengertian
hukum yang luas. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah
harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa
pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau
kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian
yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang
mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam
hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang
diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum,
tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti,
peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud
dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar
individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam
kehidupan masyarakat (1967:45). Sementara itu Pospisil (1967:25-41;1971:-95)
menyatakan, bahwa hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang
mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana
pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk
membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai
fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan
hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), yang
salah satunya disebut dengan Atribut Otoritas (Attribute of
Authority ), yaitu peraturan hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang
otoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena
adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang
otoritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum. Dalam konteks hukum adat di
Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas
seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori
Keputusan (Beslissingenleer), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum
didefinisikan sebagai keputusan – keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus
sengketa dan peristiwa – peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa (I
Nyoma Nurjaya, 30/7/11:4). Apa yang dikemukakan di atas, tidaklah dimaksudkan
untuk menyatakan hukum adat sebagai hukum yang sempit, tetapi dalam suatu
masyarakat yang pluralistik, untuk mewujudkan suatu efektiftas hukum adalah bukan
pekerjaan mudah. Hukum nasional, tidak selamanya akan efektif ketika berhadapan
dengan suatu lingkungan masyarakat adat yang masih memegang teguh hukum
adatnya, sekalipun bertentangan dengan hukum negara. Karena itu adakalanya
hukum adat lebih efektif mewujudkan pencapaian pembangunan sosial budaya, ekonomi,
politik dan pemerintahan dibanding hukum nasional. Oleh sebab itu, pemberlakuan
sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan
sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Pluralisme hukum
merupakan suatu keadaan yang tidak bisa ditolak di Indonesia oleh siapapun
juga, termasuk oleh pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya konstitusi justru
memberikan jaminan akan adanya keberagaman hukum itu di Indonesia dan memberikan
pengakuan konstitusional terhadap hak asasi masyarakat adat. Sejak Indonesia
berdiri sebagai negara berdaulat, hukum adat menempati perannya sendiri dan
dalam perkembangannya, hukum adat justru mendapat tempat khusus dalam
pembangunan hukum nasional. Dalam beberapa tahun belakangan dalam pembentukan
hukum negarapun , kebiasaan-kebiasaan (sering disebut kearifan
local) yang hidup dalam masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting
dalam pembentukan hukum negara, baik pada pembentukan undang-undang maupun
dalam pembentukan peraturan daerah. Konsep pluralisme hukum tidak lagi
berkembang dalam ranah dikotomi antara sistem hukum negara (state law)
di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious
law) di sisi lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum
lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang
mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat
(Riffeths,1986:4). Dengan perspektif hukum adat sebagai salah satu dari wujud
pluralisme hukum dalam memberikan sejumlah catatan penting dalam kehidupan
hukum di Indonesia pluralisme dalam perspektif hukum adat lebih menunjukkan
persoalan, permasalahan lebih kompleks dibandingkan dengan negara lain, untuk
itu menarik untuk diungkapkan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal
system) yang diintruksi friedman seperti berikut :
·
Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya
mempunyai 3 elemen, yaitu (a) struktur sistem hukum (strukture of legal
system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif),
institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya,
badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b)
substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa
norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku
masyarakat yang berada dibalik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal
culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan,harapan dan
kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perlaku masyarakat dalam
mepersepsikan hukum.
·
Setiap masyarakat memiliki struktur dan
substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum
tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku
sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi
efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs),
kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan normanorma
informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam
masyarakat yang bersangkutan (1984:5-7).Dalam konteks
Indonesia, hukum adat sesungguhnya adalah sistem hukum rakyat (folk law)
khas Indonesia sebagai pengejawantahan dari the living law yang tumbuh
dan berkembang berdampingan (co-existance) dengan sistem hukum lainnya
yang hidup dalam negara Indonesia. Walau pun disadari hukum negara cenderung
mendominasi dan pada keadaan tertentu terjadi juga, hukum negara menggusur,
mengabaikan, atau memarjinalisasi eksistensi hak-hak masyarakat lokal dan
sistem hukum rakyat (adat) pada tatanan implementasi dan penegakan hukum
negara. Dengan memahami beberapa hal di atas dan dengan ada kebijakan dalam
pembentukan undang-undang di Indonesia yang harus memperhatikan kearifan lokal,
maka hal itu membuktikan sistem hukum adat akan berkembang dengan baik
berdampingan dengan sistem hukum lainnya. Sebenarnya dalam masyarakat adat di
Indonesia tidak dikenal istilah “hukum adat” dan masyarakat hanya mengenal kata
“adat” atau kebiasaan. Istilah “hukum adat” dikemukakan pertama kali oleh
Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers”
(orang-orang aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam
bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Pemerintah
kolonial Belanda kemudian mepergunakan istilah hukum adat secara resmi pada
akhir tahun 1929 dalam peraturan perundangan-undangan Belanda. Untuk melakukan
kajian terhadap masa depan hukum adat di Indonesia pasca reformasi, maka ada
baiknya kita review kembali apa yang dimaksud dengan hukum adat itu. Menurut B.
Terhaar Bzn, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam
keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam
masyarakat. Dalam konteks ini Terhaar terkenal dengan teori “keputusan” artinya
bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum
adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa hukum terhadap si pelanggar
peraturan adat-istiadat. Bahkan, keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya
deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang antara lain menyatakan:
mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga negara masyarakat adat diakui,
tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum
internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang sangat
diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh
sebagai kelompok masyarakat. Masyarakat adat mempunyai hak untuk menjaga dan
memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda dibidang politik, hukum, ekonomi,
sosial dan institusi – institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka
untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara. Oleh sebab itu, dalam upaya
melakukan reformasi hukum di Indonesia, tentu janganlah dilupakan terutama
berkaitan dengan menentukan paradigma pembaharuan konsepsi pembangunan hukum
ada nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat adat yang diakui secara
konstitusional dan dalam deklarasi PBB. Deklarasi PBB tersebut tidak terlepas
dari adanya indikasi, bahwa dibagian dunia banyak masyarakat hukum adat ini
tidak dapat menikmati hak-hak asasi mereka sederajat dengan penduduk lainnya di
negara tempat mereka tinggal, dan bahwa undang-undang, nilai-nilai, adat-istiadat,
dan sudut pandang mereka sering kali telah terkikis. Dalam konvensi masyarakat
hukum adat 1989 itu dinyatakan pula, bahwa masyarakat hukum adat di
negara-negara merdeka yang dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah
keturunan dari penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan, atau
berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan berada pada waktu
penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara saat ini dan yang
tanpa memandang status hukum mereka tetap mempertahankan beberapa atau
institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri. Artinya, dimasa
depan eksistensi hukum adat tidak hanya menjadi perhatian pembangunan hukum
nasional, tetapi sekaligus akan menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam
pergaulan dunia internasional. Karena itu di dalam pembangunan hukum nasional,
pemerintah harus memberikan tempat kepada tumbuh dan berkembangnya hukum adat
yang baik. Dengan deklarasi masyarakat hukum adat 1989 itu, sesungguhnya menjadi dasar bagi suatu negara, termasuk Indonesia
dalam menekan penetrasi internasional, pada saat mana hukum nasional
berkemungkinan tidak mampu melawan kuatnya tekanan dunia internasional. Bahkan
konvensi masyarakat hukum adat itu menegaskan, pemerintah mempunyai tanggung
jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, aksi yang terkoordinasi dan sistematis
untuk
melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin
dihormatinya keutuhan mereka. Bagaimana kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan
dalam UUD 1945 dan penegasan dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu
terimplementasikan di Indonesia, pada satu sisi selama ini hanya terlihat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan dan belum ada suatu ketentuan yang
mengharuskan adanya kesadaran untuk memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat
dalam setiap kali terjadi pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan
keika pembaharunan hukum di Indonesia masih merupakan sub-sistem dari
pembangunan politik, yang dirasakan hukum cenderung sebagai alat kekuasaan.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang – undangan setidaknya memberikan jaminan akan
terpeliharanya nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat hukum adat atau
terpelihara hukum adat Indonesia. Dalam hubungan ini, selain dalam pembentukan
hukum nasional diintrodisirnya sejumlah asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undang jelas akan mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia di masa
datang termasuk dampaknya terhadap hukum adat. Pembentukan undang-undang
sebagai salah satu bagian dari sistem hukum, yang berdasarkan UU No. 10 Tahun
2004, maka materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung beberapa asas
yang antara lain adalah asas bhineka tunggal ika. Asas materi muatan peraturan
undang-undang ini, mengandung makna yang luas, dan sekaligus mengisaratkan
masyarakat Indonesia yang pluralistik. Asas Bhineka Tunggal Ika tersebut
integral dengan asas hukum adat dapat dilaksanakan, dimana setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang - undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis. Dalam konteks ini bisa dipahami, hukum negara bisa
jadi tidak efektif apabila pembentukkannya mengabaikan keberadaan hukum adat
suatu masyarakat. Dilain pihak, sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan
Otonomi Daerah, maka daerah dapat mengakomodir hukum-hukum adat yang terdapat
dalam wilayah teritorialnya dalam peraturan daerah. Setidaktidaknya peraturan daerah
memberi legitimasi tentang keberlakuan hukum adat dalam wilayah teritorialnya
baik untuk sebagian maupun seluruhnya. Bahkan pada tingkat pemerintanhan yang
lebih kecil lagi seperti pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, pemeritahan
Nagari dapat menuangkan hukum adatnya yang tidak tertulis kedalam bentuk
tertulis melalui Peraturan Nagari. Peraturan perundang-undang nasional yang
mengakomodasi hukum adat, atau peraturan perundang-undang ditingkat daerah
maupun pemerintahan paling bawah sangatlah terbuka dan akomodatif bagi
perkembangan dan pertumbuhan hukum adat dan tidak tertutup kemungkinan hukum
adat yang biasanya tidak tertulis akan berkembang secara perlahan-lahan secara
tertulis. Meskipun di sisi lain dapat dipahami banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor yang bersifat tradisional.
Tetapi dalam perkembangan saat ini, hukum adat telah pemperlihatkan peranannya
yang luar biasa dalam menyelesaikan dan memberi solusi dalam permasalahan
sosial. Dari beberapa hasil penelitian bahwa wilayah adat yang pengelolaannya
dikendalikan dan diurus secara otonom oleh komunitas-komunitas adat dengan
menggunakan pranata adatnya ternyata mampu menjaga kelestarianya. Realitas
demikian merupakan pertanda optimisme bahwa masa depan hukum adat ditangan
masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat. Sebagian dari
masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan sendiri sebagai
komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan
seluruh makhluk, termasuk masyarakat lain di sekitarnya. Dengan demikian adanya
kebijakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia harus memperhatikan kearifan
lokal, maka hal itu membuktikan sistem hukum adat akan berkembang dengan baik
berdampingan dengan sistem hukum lainnya terutama hukum nasional Indonesia.
C. HUKUM ADAT
DITEMPATKAN SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN
Sebelum menginjak lebih jauh
mengenai pembahasan Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan, Budaya sendiri menurut
Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran; akal budi; hasil cipta karsa manusia.
Lalu disini akan lebih dikhususkan lagi dengan pengertian Kebudayaan itu
sendiri.Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain,
yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari uraian diatas
maka dapat diambil pengertian bahwa Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan adalah
Hukum Adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang
dengan eksistensinya sebagai anggota masyarakat.Jika hukum adat dilihat dari segi
wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud
sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah
laku manusia dalam berkehidupan di masyarakat, dengan demikian hukum adat
merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.
Hukum Adat merupakan
hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan
hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut
berlaku. Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita harus
berusaha memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang
merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur kejiwaan bangsa Indonesia.
Maka jelas dikatakan
bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa
Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berfikir bangsa Indonesia tercermin
lewat hukum adat itu sendiri.
Untuk mendapatkan gambaran apa yang
dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai
berikut :1.
Prof.
Mr. B. Terhaar Bzn
2.
Prof.
Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang
pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,
mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.4.
Mr.
J.H.P. Bellefroit
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan.6.
Prof.
Dr. Hazairin
Hukum adat adalah suatu kompleks
norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
serta meliputi peraturan – peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa
ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).8.
Prof.
Dr. Soepomo, S.H.
·
Tingkah
laku tersebut teratur dan sistematis
·
Adanya
keputusan kepala adat
·
Tidak tertulis
Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum AdatPerbedaan antara adat dengan hukum adat yaitu :1.
Dari Terhaar
Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum
adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi.3.
Van
Dijk :
Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat
dari atribut-atribut hukumnya yaitu :·
Atribut
authority,
·
Intention
of Universal Application
Putusan
dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi / imbalan yang berupa
sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dn
sebagainya. Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum
adat hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat. Hukum
adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan adat tidak
mempunyai nilai/ biasa.b.
Dasar Berlakunya
Hukum adat di Indonesia
2. Hukum
Eropa yang telah diubah
4.
Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.Pasal
131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan
sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila
terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum
adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku
adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan
bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan
alasan-alasan putusan itu juga aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan
Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan
presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan
Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang
tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1)
ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :1. Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
6. Hukum
Eropa yang telah diubah
8.
Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.Pasal
131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan
sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila
terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum
adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku
adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan
bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan
alasan-alasan putusan itu juga aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan
Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan
presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan
Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang
tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1)
ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :4. Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
6. Pasal
24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
Dr. Holleman, dalam
pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische rechtsieven,
menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya
dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komun,
sifat contant dan sifat konkret. "Religio-magis" itu sebenarnya
adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau
cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-lain.
Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
·
Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya
mempunyai 3 elemen, yaitu (a) struktur sistem hukum (strukture of legal
system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif),
institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya,
badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b)
substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa
norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku
masyarakat yang berada dibalik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal
culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan,harapan dan
kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perlaku masyarakat dalam
mepersepsikan hukum.
untuk
melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin
dihormatinya keutuhan mereka. Bagaimana kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan
dalam UUD 1945 dan penegasan dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu
terimplementasikan di Indonesia, pada satu sisi selama ini hanya terlihat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan dan belum ada suatu ketentuan yang
mengharuskan adanya kesadaran untuk memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat
dalam setiap kali terjadi pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan
keika pembaharunan hukum di Indonesia masih merupakan sub-sistem dari
pembangunan politik, yang dirasakan hukum cenderung sebagai alat kekuasaan.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang – undangan setidaknya memberikan jaminan akan
terpeliharanya nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat hukum adat atau
terpelihara hukum adat Indonesia. Dalam hubungan ini, selain dalam pembentukan
hukum nasional diintrodisirnya sejumlah asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undang jelas akan mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia di masa
datang termasuk dampaknya terhadap hukum adat. Pembentukan undang-undang
sebagai salah satu bagian dari sistem hukum, yang berdasarkan UU No. 10 Tahun
2004, maka materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung beberapa asas
yang antara lain adalah asas bhineka tunggal ika. Asas materi muatan peraturan
undang-undang ini, mengandung makna yang luas, dan sekaligus mengisaratkan
masyarakat Indonesia yang pluralistik. Asas Bhineka Tunggal Ika tersebut
integral dengan asas hukum adat dapat dilaksanakan, dimana setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang - undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis. Dalam konteks ini bisa dipahami, hukum negara bisa
jadi tidak efektif apabila pembentukkannya mengabaikan keberadaan hukum adat
suatu masyarakat. Dilain pihak, sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan
Otonomi Daerah, maka daerah dapat mengakomodir hukum-hukum adat yang terdapat
dalam wilayah teritorialnya dalam peraturan daerah. Setidaktidaknya peraturan daerah
memberi legitimasi tentang keberlakuan hukum adat dalam wilayah teritorialnya
baik untuk sebagian maupun seluruhnya. Bahkan pada tingkat pemerintanhan yang
lebih kecil lagi seperti pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, pemeritahan
Nagari dapat menuangkan hukum adatnya yang tidak tertulis kedalam bentuk
tertulis melalui Peraturan Nagari. Peraturan perundang-undang nasional yang
mengakomodasi hukum adat, atau peraturan perundang-undang ditingkat daerah
maupun pemerintahan paling bawah sangatlah terbuka dan akomodatif bagi
perkembangan dan pertumbuhan hukum adat dan tidak tertutup kemungkinan hukum
adat yang biasanya tidak tertulis akan berkembang secara perlahan-lahan secara
tertulis. Meskipun di sisi lain dapat dipahami banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor yang bersifat tradisional.
Tetapi dalam perkembangan saat ini, hukum adat telah pemperlihatkan peranannya
yang luar biasa dalam menyelesaikan dan memberi solusi dalam permasalahan
sosial. Dari beberapa hasil penelitian bahwa wilayah adat yang pengelolaannya
dikendalikan dan diurus secara otonom oleh komunitas-komunitas adat dengan
menggunakan pranata adatnya ternyata mampu menjaga kelestarianya. Realitas
demikian merupakan pertanda optimisme bahwa masa depan hukum adat ditangan
masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat. Sebagian dari
masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan sendiri sebagai
komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan
seluruh makhluk, termasuk masyarakat lain di sekitarnya. Dengan demikian adanya
kebijakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia harus memperhatikan kearifan
lokal, maka hal itu membuktikan sistem hukum adat akan berkembang dengan baik
berdampingan dengan sistem hukum lainnya terutama hukum nasional Indonesia.
Sebelum menginjak lebih jauh
mengenai pembahasan Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan, Budaya sendiri menurut
Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran; akal budi; hasil cipta karsa manusia.
Lalu disini akan lebih dikhususkan lagi dengan pengertian Kebudayaan itu
sendiri.Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain,
yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
0 komentar:
Post a Comment