Monday, 8 April 2013

Eksitensi Hukum Adat


A.    PENGERTIAN HUKUM ADAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT DI INDONESIA
a.       Pengertian Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” ( orang – orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang – undangan Belanda.Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan :“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.
Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut :1.      Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori Keputusan artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2.      Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.3.      Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.4.      Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan  keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.5.      Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan.6.      Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.7.      Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan – peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).8.      Prof. Dr. Soepomo, S.H.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur – unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :·         Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat
·         Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
·         Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral
·         Adanya keputusan kepala adat
·         Adanya sanksi/ akibat hukum
·          Tidak tertulis
·          Ditaati dalam masyarakat
Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum AdatPerbedaan antara adat dengan hukum adat yaitu :1.       Dari Terhaar
Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan tingkah laku/ adat.2.      Van Vollen Hoven
Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi.3.      Van Dijk :
Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.4.      Pendapat L. Pospisil :
Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu :·         Atribut authority,
Yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
·         Intention of Universal Application
Bahwa putusan-putusan kepala adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama. Obligation (rumusan hak dan kewajiban) Yaitu dan rumusan hak-hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia missal nenek moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan mengeani kewajiban saja yang bersifat keagamaan.·         Adanya sanksi/ imbalan
Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi / imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dn sebagainya. Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan adat tidak mempunyai nilai/ biasa.b.      Dasar Berlakunya Hukum adat di Indonesia
Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi:“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan – alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang – Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUD 1945. Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :1.      Hukum Eropa
2.      Hukum Eropa yang telah diubah
3.      Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4.      Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok – Pokok  Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :1.      Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2.      Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3.      Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
5.      Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hukum Eropa
6.      Hukum Eropa yang telah diubah
7.      Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
8.      Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok – Pokok  Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :4.      Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
5.      Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
6.      Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
7.      Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.     Sifat-sifat Umum Hukum Adat
 Dr. Holleman, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komun, sifat contant dan sifat konkret. "Religio-magis" itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan, ilmu gaib, dan lain-lain. Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a.Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus.b.Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda- benda;c.Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa; d.Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan••perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib;e.Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.  F. D. Hollemen juga memberikan uraian yang menjelaskan tentang sifat-sifat Hukum Adat yaitu :
a.Sifat Commune, kepentingan indibvidu dalam hukum selalu diimbangi dengan kepentingan umum.b.Sifat Concreet, yang menjadi objek dalam hukum adat itu harus konkret atau harus jelasc.Sifat Constant, penyerahan masalah transaksi harus dilakukan dengan konstand.Sifat Magisch, hukum adat mengandung hal-hal yang gaib yang apabila dilanggar akan menimbulkan bencana terhadap masyarakat.  Proses Terbentuknya Hukum              Hukum Adat adalah Hukum Non StatuirHukum adat pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.              Hukum Adat Tidak Statis
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Van Vollen Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai berikut :“Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat” B.     PERANAN HUKUM ADAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Hukum adat telah terlebih dahulu eksis mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat Indonesia dan tentudalam batas yuridiksi masyarakat hukum adat tempat dimana hukum adat itu tumbuh dan berkembang. Hukumadat berkembang sebagai dualisme hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengaruh hukum sipil kolonial Belanda merasuk jauh kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kondisi itulah yang kemudian dipulihkan kembali setelah Indonesia merdeka yang ditandai dengan diakuinya keberadaan hukum adat dalam tatanan hukum Nasional. Dengan adanya berbagai hukum yang mengatur kehidupan dalam masyarakat negara, maka skenario pembangunan hukum dan bagaimana membentuk keharmonisasi hukum jelas merupakan suatu masalah yang kompleks dan sangat berpengaruh pada efektifitas hukum. Hukum adat sebagai salah satu wujud pluralisme hukum dalam memberikan sejumlah catatan penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, permasalahan lebih kompleks dibanding negara-negara lain. Ini terutama karena banyak ragamnya komunitas masyarakat adat dengan hukum adatnya masing – masing. Kalau pun hukum-hukum adat itu akan diakamodir dalam hukum nasional. Selain keberlakuannya sangat terbatas pada teritorial masyarakat adat itu sendiri. Dalam hubungan itu tidaklah menjadikan hukum adat sebagai hukum tidak memiliki nilai. Eksistensi hukum adat disamping hukum-hukum lainnya akan tampak sangat penting apabila hukum dipahami dalam pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospil, 1967:26; Bohannan, 1967:48). Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional Indonesia selamai ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum islam, yang masing-masing menjadi subsistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. Apabila sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia dan sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar – dasar  alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat menyadari akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa hukum adat sangat penting dalam suatu masyarakat pluralistik dan dengan memberikan pengertian hukum yang luas. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat (1967:45). Sementara itu Pospisil (1967:25-41;1971:-95) menyatakan, bahwa hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), yang salah satunya disebut dengan Atribut Otoritas (Attribute of Authority ), yaitu peraturan hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otoritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum. Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan – keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa – peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa (I Nyoma Nurjaya, 30/7/11:4). Apa yang dikemukakan di atas, tidaklah dimaksudkan untuk menyatakan hukum adat sebagai hukum yang sempit, tetapi dalam suatu masyarakat yang pluralistik, untuk mewujudkan suatu efektiftas hukum adalah bukan pekerjaan mudah. Hukum nasional, tidak selamanya akan efektif ketika berhadapan dengan suatu lingkungan masyarakat adat yang masih memegang teguh hukum adatnya, sekalipun bertentangan dengan hukum negara. Karena itu adakalanya hukum adat lebih efektif mewujudkan pencapaian pembangunan sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerintahan dibanding hukum nasional. Oleh sebab itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Pluralisme hukum merupakan suatu keadaan yang tidak bisa ditolak di Indonesia oleh siapapun juga, termasuk oleh pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya konstitusi justru memberikan jaminan akan adanya keberagaman hukum itu di Indonesia dan memberikan pengakuan konstitusional terhadap hak asasi masyarakat adat. Sejak Indonesia berdiri sebagai negara berdaulat, hukum adat menempati perannya sendiri dan dalam perkembangannya, hukum adat justru mendapat tempat khusus dalam pembangunan hukum nasional. Dalam beberapa tahun belakangan dalam pembentukan hukum negarapun , kebiasaan-kebiasaan (sering disebut kearifan local) yang hidup dalam masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pembentukan hukum negara, baik pada pembentukan undang-undang maupun dalam pembentukan peraturan daerah. Konsep pluralisme hukum tidak lagi berkembang dalam ranah dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat (Riffeths,1986:4). Dengan perspektif hukum adat sebagai salah satu dari wujud pluralisme hukum dalam memberikan sejumlah catatan penting dalam kehidupan hukum di Indonesia pluralisme dalam perspektif hukum adat lebih menunjukkan persoalan, permasalahan lebih kompleks dibandingkan dengan negara lain, untuk itu menarik untuk diungkapkan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal system) yang diintruksi friedman seperti berikut :
·         Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu (a) struktur sistem hukum (strukture of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada dibalik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan,harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perlaku masyarakat dalam mepersepsikan hukum.
·         Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan normanorma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan (1984:5-7).Dalam konteks Indonesia, hukum adat sesungguhnya adalah sistem hukum rakyat (folk law) khas Indonesia sebagai pengejawantahan dari the living law yang tumbuh dan berkembang berdampingan (co-existance) dengan sistem hukum lainnya yang hidup dalam negara Indonesia. Walau pun disadari hukum negara cenderung mendominasi dan pada keadaan tertentu terjadi juga, hukum negara menggusur, mengabaikan, atau memarjinalisasi eksistensi hak-hak masyarakat lokal dan sistem hukum rakyat (adat) pada tatanan implementasi dan penegakan hukum negara. Dengan memahami beberapa hal di atas dan dengan ada kebijakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia yang harus memperhatikan kearifan lokal, maka hal itu membuktikan sistem hukum adat akan berkembang dengan baik berdampingan dengan sistem hukum lainnya. Sebenarnya dalam masyarakat adat di Indonesia tidak dikenal istilah “hukum adat” dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Istilah “hukum adat” dikemukakan pertama kali oleh Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mepergunakan istilah hukum adat secara resmi pada akhir tahun 1929 dalam peraturan perundangan-undangan Belanda. Untuk melakukan kajian terhadap masa depan hukum adat di Indonesia pasca reformasi, maka ada baiknya kita review kembali apa yang dimaksud dengan hukum adat itu. Menurut B. Terhaar Bzn, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Dalam konteks ini Terhaar terkenal dengan teori “keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Bahkan, keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang antara lain menyatakan: mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga negara masyarakat adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh sebagai kelompok masyarakat. Masyarakat adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda dibidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi – institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara. Oleh sebab itu, dalam upaya melakukan reformasi hukum di Indonesia, tentu janganlah dilupakan terutama berkaitan dengan menentukan paradigma pembaharuan konsepsi pembangunan hukum ada nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat adat yang diakui secara konstitusional dan dalam deklarasi PBB. Deklarasi PBB tersebut tidak terlepas dari adanya indikasi, bahwa dibagian dunia banyak masyarakat hukum adat ini tidak dapat menikmati hak-hak asasi mereka sederajat dengan penduduk lainnya di negara tempat mereka tinggal, dan bahwa undang-undang, nilai-nilai, adat-istiadat, dan sudut pandang mereka sering kali telah terkikis. Dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu dinyatakan pula, bahwa masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah keturunan dari penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan, atau berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan berada pada waktu penaklukan atau penjajahan atau penetapan batas-batas negara saat ini dan yang tanpa memandang status hukum mereka tetap mempertahankan beberapa atau institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri. Artinya, dimasa depan eksistensi hukum adat tidak hanya menjadi perhatian pembangunan hukum nasional, tetapi sekaligus akan menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam pergaulan dunia internasional. Karena itu di dalam pembangunan hukum nasional, pemerintah harus memberikan tempat kepada tumbuh dan berkembangnya hukum adat yang baik. Dengan deklarasi masyarakat hukum adat 1989 itu, sesungguhnya menjadi dasar bagi suatu negara, termasuk Indonesia dalam menekan penetrasi internasional, pada saat mana hukum nasional berkemungkinan tidak mampu melawan kuatnya tekanan dunia internasional. Bahkan konvensi masyarakat hukum adat itu menegaskan, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi yang terkoordinasi dan sistematis
untuk melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka. Bagaimana kesepakatan-kesepakatan yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan penegasan dalam konvensi masyarakat hukum adat 1989 itu terimplementasikan di Indonesia, pada satu sisi selama ini hanya terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan belum ada suatu ketentuan yang mengharuskan adanya kesadaran untuk memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat dalam setiap kali terjadi pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan keika pembaharunan hukum di Indonesia masih merupakan sub-sistem dari pembangunan politik, yang dirasakan hukum cenderung sebagai alat kekuasaan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan setidaknya memberikan jaminan akan terpeliharanya nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat hukum adat atau terpelihara hukum adat Indonesia. Dalam hubungan ini, selain dalam pembentukan hukum nasional diintrodisirnya sejumlah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undang jelas akan mempengaruhi pembentukan hukum di Indonesia di masa datang termasuk dampaknya terhadap hukum adat. Pembentukan undang-undang sebagai salah satu bagian dari sistem hukum, yang berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, maka materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung beberapa asas yang antara lain adalah asas bhineka tunggal ika. Asas materi muatan peraturan undang-undang ini, mengandung makna yang luas, dan sekaligus mengisaratkan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Asas Bhineka Tunggal Ika tersebut integral dengan asas hukum adat dapat dilaksanakan, dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang - undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Dalam konteks ini bisa dipahami, hukum negara bisa jadi tidak efektif apabila pembentukkannya mengabaikan keberadaan hukum adat suatu masyarakat. Dilain pihak, sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan Otonomi Daerah, maka daerah dapat mengakomodir hukum-hukum adat yang terdapat dalam wilayah teritorialnya dalam peraturan daerah. Setidaktidaknya peraturan daerah memberi legitimasi tentang keberlakuan hukum adat dalam wilayah teritorialnya baik untuk sebagian maupun seluruhnya. Bahkan pada tingkat pemerintanhan yang lebih kecil lagi seperti pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, pemeritahan Nagari dapat menuangkan hukum adatnya yang tidak tertulis kedalam bentuk tertulis melalui Peraturan Nagari. Peraturan perundang-undang nasional yang mengakomodasi hukum adat, atau peraturan perundang-undang ditingkat daerah maupun pemerintahan paling bawah sangatlah terbuka dan akomodatif bagi perkembangan dan pertumbuhan hukum adat dan tidak tertutup kemungkinan hukum adat yang biasanya tidak tertulis akan berkembang secara perlahan-lahan secara tertulis. Meskipun di sisi lain dapat dipahami banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga faktor-faktor yang bersifat tradisional. Tetapi dalam perkembangan saat ini, hukum adat telah pemperlihatkan peranannya yang luar biasa dalam menyelesaikan dan memberi solusi dalam permasalahan sosial. Dari beberapa hasil penelitian bahwa wilayah adat yang pengelolaannya dikendalikan dan diurus secara otonom oleh komunitas-komunitas adat dengan menggunakan pranata adatnya ternyata mampu menjaga kelestarianya. Realitas demikian merupakan pertanda optimisme bahwa masa depan hukum adat ditangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat. Sebagian dari masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk, termasuk masyarakat lain di sekitarnya. Dengan demikian adanya kebijakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia harus memperhatikan kearifan lokal, maka hal itu membuktikan sistem hukum adat akan berkembang dengan baik berdampingan dengan sistem hukum lainnya terutama hukum nasional Indonesia.
    C.    HUKUM ADAT DITEMPATKAN SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN
Sebelum menginjak lebih jauh mengenai pembahasan Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan, Budaya sendiri menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran; akal budi; hasil cipta karsa manusia. Lalu disini akan lebih dikhususkan lagi dengan pengertian Kebudayaan itu sendiri.Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari uraian diatas maka dapat diambil pengertian bahwa Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan adalah Hukum Adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang dengan eksistensinya sebagai anggota masyarakat.Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan di masyarakat, dengan demikian hukum adat merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.
Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku. Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita harus berusaha memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur kejiwaan bangsa Indonesia.
Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berfikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri. 

Lokasi: Jalan Raya Gunung Pati, Semarang, Indonesia

0 komentar: