Monday, 15 April 2013

Grasi,amnesti dan abolisi


GRASI, AMNESTI, ABOLISI, SP3, SKPP, DAN DEPONERING
GRASI
Jika seseorang telah diputuskan bersalah melakukan tindak pidana dan putusan pengadilan tersebut telah berkekuatan hukum tetap maka terpidana atau melalui keluarganya dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Dasar hukum Grasi ini diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Grasi merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana. Grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis pidanya (misal: dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara) atau tidak perlu mejalani pidana.



AMNESTI dan ABOLISI
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” (sesuai dengan perubahan yang pertama)
Penjabaran mengenai Amnesti dan Abolisi ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang dibuat untuk menyesuaikan antara pasal 107 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara RI. Dengan Penetapan Presiden No 14 tahun 1949 tentang pemberian amnesti. Dalam pasal 1 UUdrt. No 11 Tahun 1954 disebutkan bahwa Presiden atas kepentingan Negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana. (Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman). Aturan ini tentu sudah harus di revisi kembali karena berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (perubahan bertama), dalam memberikan amnesti dan abolisi, Presiden  harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.



Perbedaan Antara Amnesti dan Abolisi
Abolisi adalah kewenangan Presiden meniadakan penuntutan. Jadi belum ada putusan, bukan diberikan kepada terpidana tetapi kepada terdakwa. Abolisi tidak meniadakan sifat pidana dari suatu perbuatan, tetapi presiden dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu menetapkan agar tidak diadakan penuntutan atas suatu tindak pidana. Di sini yang membedakan dengan grasi adalah grasi diberikan setelah proses peradilan selesai dan pidana dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada abolisi proses yustisial seperti penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan belum dijalankan.
Amnesti adalah kewenangan Presiden meniadakan sifat pidana atas perbuatan seseorang atau sekelompok orang. Mereka yang mendapat amnesti dipandang tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan pidana. Umumnya amnesti diberikan kepada sekelompok orang yang melakukan tindakan pidana sebagai bagian dari kegiatan politik, seperti pemberontakan atau perlawanan senjata terhadap pemerintah yang sah. Tetapi, tidak menutup kemungkinan diberikan kepada orang perorangan.
Amnesti merupakan penghapusan segala akibat hukum dari tindak pidana yang telah dilakukan seseorang atau sekelompok orang, sedangkan abolisi adalah peniadaan penuntutan terhadap orang-orang yang melakukan tindak pidana.

SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)
Tindakan penghentian penyidikan ini merupakan kewenangan Penyidik yang diberikan oleh Undang-Undang jika ternyata ia tidak memperoleh cukup bukti atau peristiwa yang sedang dilakukan penyidikan bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan tersebut dihentikan demi hukum.

SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan)
Berbeda dengan SP3, SKPP ini merupakan kewenangan Penuntut Umum (Jaksa Penuntut Umum yang diberikan tugas sebagai penuntut umum dalam menangani suatu perkara) alasa-alasan yang mendasari Penuntut Umum mengambil tindakan ini adalah tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau eprkara tersebut ditutup demi hukum

DEPONERING (Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum)
Kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ini diberikan oleh Undang-Undang kepada Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang berhubungan dengan masalah tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas (penjelasan pasal 35 Undang-Undang no 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan)
Perlu diketahui juga bahwa dalam penegakan hukum dikenal asas oportunitas yang mengandung pengertian bahwa dalam melakukan penegakan hukum harus mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan bangsa dan negara.


0 komentar: