GRASI, AMNESTI, ABOLISI, SP3,
SKPP, DAN DEPONERING
GRASI
Jika seseorang telah diputuskan bersalah melakukan
tindak pidana dan putusan pengadilan tersebut telah berkekuatan hukum tetap maka terpidana atau melalui keluarganya dapat mengajukan permohonan grasi
kepada Presiden. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi
adalah pidana
mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Dasar hukum Grasi ini diatur dalam pasal 14
Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Grasi merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana.
Grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang
bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis
pidanya (misal: dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara) atau tidak
perlu mejalani pidana.
AMNESTI dan
ABOLISI
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi
“Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat” (sesuai dengan perubahan yang pertama)
Penjabaran mengenai Amnesti dan Abolisi ini dapat
ditemukan dalam Undang-Undang darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan
Abolisi yang dibuat untuk menyesuaikan antara pasal 107 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Sementara RI. Dengan Penetapan Presiden No 14 tahun 1949 tentang
pemberian amnesti. Dalam pasal 1 UUdrt. No 11 Tahun 1954 disebutkan bahwa Presiden
atas kepentingan
Negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang
telah melakukan tindak pidana. (Presiden memberi amnesti dan abolisi ini
setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat
itu atas permintaan Menteri Kehakiman). Aturan ini tentu sudah harus di revisi
kembali karena berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (perubahan bertama), dalam
memberikan amnesti dan abolisi, Presiden harus terlebih dahulu
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Perbedaan Antara Amnesti dan Abolisi
Abolisi adalah kewenangan Presiden meniadakan
penuntutan. Jadi belum ada putusan, bukan diberikan kepada terpidana
tetapi kepada terdakwa. Abolisi tidak meniadakan sifat pidana dari suatu
perbuatan, tetapi presiden dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu menetapkan
agar tidak diadakan penuntutan atas suatu tindak pidana. Di sini yang
membedakan dengan grasi adalah grasi diberikan setelah proses peradilan selesai
dan pidana dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada abolisi
proses yustisial seperti penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan belum
dijalankan.
Amnesti adalah kewenangan Presiden meniadakan sifat
pidana atas perbuatan seseorang atau sekelompok orang. Mereka yang
mendapat amnesti dipandang tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan pidana. Umumnya amnesti
diberikan kepada sekelompok orang yang
melakukan tindakan pidana sebagai bagian dari kegiatan politik, seperti
pemberontakan atau perlawanan senjata terhadap pemerintah yang sah. Tetapi, tidak
menutup kemungkinan diberikan kepada orang perorangan.
Amnesti merupakan penghapusan segala akibat hukum dari tindak
pidana yang telah dilakukan seseorang atau sekelompok orang, sedangkan abolisi
adalah peniadaan penuntutan terhadap orang-orang yang melakukan tindak pidana.
SP3 (Surat
Perintah Penghentian Penyidikan)
Tindakan penghentian penyidikan ini merupakan
kewenangan Penyidik yang diberikan oleh Undang-Undang jika ternyata ia tidak
memperoleh cukup bukti atau peristiwa yang sedang dilakukan penyidikan bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan tersebut dihentikan demi hukum.
SKPP (Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan)
Berbeda dengan SP3, SKPP ini merupakan kewenangan
Penuntut Umum (Jaksa Penuntut Umum yang diberikan tugas sebagai penuntut umum
dalam menangani suatu perkara) alasa-alasan yang mendasari Penuntut Umum
mengambil tindakan ini adalah tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau eprkara tersebut ditutup
demi hukum
DEPONERING
(Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum)
Kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan
umum ini diberikan oleh Undang-Undang kepada Jaksa Agung setelah memperhatikan
saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang berhubungan dengan
masalah tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas (penjelasan
pasal 35 Undang-Undang no 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan)
Perlu diketahui juga bahwa dalam penegakan hukum
dikenal asas
oportunitas yang mengandung
pengertian bahwa dalam melakukan penegakan hukum harus mempertimbangkan
kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan bangsa dan negara.
0 komentar:
Post a Comment